Rabu, 04 April 2012

-- Samakah Jihad dan Teroris --


Ikhwatul Iman yang dimuliakan Allah kali ini ana akan berbagi sedikit ilmu untuk kalian semua sebagai pendapatan pengetahuan hari ini,tapi jgn puas dan senantiasa mencari segala kebenaran.Dan kalau bisa berbagi pulalah dengan ana dalam ilmu2 yang lain. Jangan Ngeluh pegel bacanya yah,soalnya jari ana lebih pegel.hehe

Kata Jihad sekarang ini telah banyak di salah gunakan, kaum muslimin sendiri banyak yang rancu dengan kata jihad. Bahkan ada di antara mereka menamakan perbuatan yang bukan jihad dengan nama jihad.Apakah pantas agama islam yang mengajarkan kedamaian ini dikatakan sebagai agama teroris? tentunya tidak. Silakan menyimak.

Secara bahasa, JIHAD berasal dari ja-ha-da. Suatu usaha maksimal yang sanggup dikerahkan untuk menunaikan suatu urusan. JIHAD adalah perlambang puncak usaha manusia untuk mencapai sesuatu. Dalam jihad ini, pengorbanan apapun akan disanggupi, termasuk pengorbanan nyawa. Pasukan Jepang yang melakukan aksi Kamikaze pada Perang Dunia II, dengan menabrakkan pesawat ke kapal-kapal Amerika. Mereka bisa dianggap telah berjihad. Hanya saja, jihadnya untuk membela berhala (Kaisar Hirohito). Sedangkan Jihad Fi Sabilillah, diartikan sebagai perjuangan maksimal untuk menegakkan Kalimah Allah di muka bumi. Para ulama, mengidentikkan Jihad Fi Sabilillah dalam Al Qur’an sebagai perang melawan orang-orang kafir dalam membela agama Allah.
JIHAD adalah perkara yang suci. Ia adalah bagian dari risalah langit untuk menjaga, memelihara, dan menegakkan agama Allah di muka bumi. Jihad adalah instumen yang Allah turunkan untuk memelihara agama-Nya, melalui tangan-tangan hamba-Nya. Jihad bukan perkara baru dalam ajaran Nabi Muhammad Saw. Ia telah dikenalkan sejak Nabi dan Rasul, sebelum beliau. Musa, Harun, Danial, Dawud, Sulaiman ‘alaihimus salam, dan lain-lain adalah Nabi-nabi yang pernah terjun berjihad di medan laga.
Dalam Al Qur’an, “Berapa banyaknya Nabi yang berperang bersamanya kaum Rabbani yang banyak. Mereka tidak menjadi gentar karena berbagai cobaan yang menimpanya di jalan Allah; dan tidak pula mereka menjadi lemah dan menyerah. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersabar.” (Ali Imran: 146).
Dalam riwayat diceritakan. Ada seorang Nabi yang berperang memimpin Ummatnya menghadapi orang-orang kafir. Sebelum musuh dikalahkan, ternyata matahari hampir terbenam. Padahal dalam aturan perang waktu itu, kalau matahari sudah terbenam, seluruh peperangan harus dihentikan. Maka Nabi itu segera memerintahkan matahari berhenti berputar. Dia meminta matahari tidak terbenam dulu, sampai dia dan pasukannya berhasil mengalahkan musuh.
Kedudukan JIHAD bersifat suci, luhur, mulia. Keberadaannya dibatasi oleh adab-adab Syariat. Misalnya, dalam peperangan melawan orang-orang kafir, pasukan Islam tidak boleh menghancurkan rumah-rumah ibadah, tidak boleh menghancurkan ternak, tanam-tanaman, tidak boleh menganiaya orangtua, anak-anak, dan kaum wanita. Tidak boleh mengejar musuh yang melarikan diri, tidak boleh membunuh tentara yang menyerah, berperang sesuai kesepakatan dengan musuh, dll. Hal ini menjadi bukti nyata, bahwa JIHAD bukan urusan “kacangan” yang bisa dilakukan sesuka hati. Ia benar-benar dibingkai dengan adab yang luhur.
SEKILAS HUKUM JIHAD
Disini kita perlu memahami secara ringkas hukum-hukum seputar JIHAD. Antara lain sebagai berikut:
[1] Secara umum jihad dibagi dua: jihad thalabi (jihad menyerang) dan jihad difa’i (jihad mempertahankan diri). Perang Badr. Uhud, dan Ahzab adalah masuk kategori jihad bertahan. Sedangkan perang Hunain, Fathu Makkah, perang Mu’tah, perang Yarmuk, perang Qadisiyyah, dan lain-lain adalah jihad menyerang (offensive).
[2] JIHAD menyerang tidak boleh dilakukan, melainkan di bawah komando seorang Imam kaum Muslimin di suatu negara Islam. Pengumuman jihad harus disampaikan secara terbuka, kepada masyarakat negara itu dan kepada dunia luar. Alasan jihad menyerang tidak menjadi penentu, bahkan kaum Muslimin boleh menyebarkan Islam melalui JIHAD ini. Hal itu sudah dilakukan oleh para Salafus Shalih. Khalifah Umar Ra. termasuk pemimpin Islam yang dicatat sejarah memiliki prestasi gemilang dalam menunaikan JIHAD perluasan wilayah Islam. Hanya saja, perhitungan kekuatan yang sangat cermat dibutuhkan, untuk memastikan apakah suatu negara Islam sanggup menggelar JIHAD offensive atau tidak.
[3] JIHAD untuk mempertahankan diri (defensive). Ia dibutuhkan oleh kaum Muslimin ketika menghadapi musuh-musuh yang melakukan agresi atau invasi. Baik ada atau tidak ada Imam kaum Muslimin, wajib hukumnya kaum Muslimin mempertahankan diri, agama, harta benda, kehormatan, dan kehidupannya. Dalam perang Badr, Uhud, dan Ahzab, Nabi Saw telah menunjukkan cara terbaik dalam mempertahankan diri. Begitu juga JIHAD bangsa Indonesia menghadapi kolonial Belanda dan Jepang, adalah fakta JIHAD defensive yang tidak diragukan lagi. Termasuk JIHAD bangsa Palestina, Afghanistan, Irak, Chechnya, dan lainnya. Dalam konteks pembelaan diri, hukum internasional pun mengakuinya. Salam konteks pertahanan, kita mengenal istilah “Hak Bela Negara”. Pada negara-negara tertentu, mereka malah menerapkan hukum “Wajib Militer” untuk mengantisipasi kebutuhan negara terhadap tenaga-tenaga pertahanan. Jadi mempertahankan diri itu sudah merupakan sesuatu yang lumrah, jika diserang.
[4] Ummat Islam juga mengenal istilah jihad di luar konteks perang. Ia adalah jihad berupa kesungguhan beramal di bidang apapun, dalam rangka menegakkan agama Allah di muka bumi. Seorang ustadz yang berdakwah ke pedalaman untuk mengislamkan orang pedalaman, dianggap berjihad; para aktivis yang berjuang mempertahankan nasib Ummat dari gerakan pemurtadan, juga dianggap berjihad; para ilmuwan Muslim yang sungguh-sungguh menggali ilmu, menyebarkan ilmu, menyebarkan penerangan Islami, juga dianggap berjihad; para pendidik dan kaum wanita yang sungguh-sungguh mendidik generasi Muslim, juga berjihad; para saudagar Muslim yang sungguh-sungguh berjuang memperkuat kepemilikan aset harta Ummat, juga berjihad; dan lain-lain. Hingga seorang wanita Muslimah yang melahirkan putra-putri Muslim, wanita yang menunaikan Haji dan Umrah, mereka juga dianggap berjihad. Ini adalah jihad dalam rangka pelayanan Islam, meskipun bentuknya bukan perang di medan laga.
Dalam hadits Nabi Saw. disebutkan, “Siapa yang berperang dalam rangka meninggikan Kalimah Allah (di atas kalimat-kalimat lainnya), maka dia berada Fi Sabilillah.” (HR. Bukhari-Muslim dari Abu Musa Al Asy’ari Ra).
Jika demikian, maka jelaslah bahwa JIHAD itu hanya berurusan dengan perkara-perkara yang benar, lurus, dan mulia. JIHAD tidak berhubungan dengan aksi-aksi terorisme sebagaimana yang kerap kita saksikan.
MEMAHAMI TERORISME
Sejarah tentang Terorisme berkembang sejak berabad lampau, ditandai dengan bentuk kejahatan murni berupa pembunuhan dan ancaman yang bertujuan untuk mencapai tujuan tertentu. Perkembangannya bermula dalam bentuk fanatisme aliran kepercayaan yang kemudian berubah menjadi pembunuhan, baik yang dilakukan secara perorangan maupun oleh suatu kelompok terhadap penguasa yang dianggap sebagai tiran. Pembunuhan terhadap individu ini sudah dapat dikatakan sebagai bentuk murni dari Terorisme dengan mengacu pada sejarah Terorisme modern.[1]
Meski istilah Teror dan Terorisme baru mulai populer abad ke-18, namun fenomena yang ditujukannya bukanlah baru. Menurut Grant Wardlaw dalam buku Political Terrorism (1982), manifestasi Terorisme sistematis muncul sebelum Revolusi Perancis, tetapi baru mencolok sejak paruh kedua abad ke-19. Dalam suplemen kamus yang dikeluarkan Akademi Perancis tahun 1798, terorisme lebih diartikan sebagai sistem rezim teror.[2]
Kata Terorisme berasal dari Bahasa Perancis le terreur yang semula dipergunakan untuk menyebut tindakan pemerintah hasil Revolusi Perancis yang mempergunakan kekerasan secara brutal dan berlebihan dengan cara memenggal 40.000 orang yang dituduh melakukan kegiatan anti pemerintah. Selanjutnya kata Terorisme dipergunakan untuk menyebut gerakan kekerasan anti pemerintah di Rusia. Dengan demikian kata Terorisme sejak awal dipergunakan untuk menyebut tindakan kekerasan oleh pemerintah maupun kegiatan yang anti pemerintah.[3]
Terorisme muncul pada akhir abad 19 dan menjelang terjadinya Perang Dunia-I, terjadi hampir di seluruh belahan dunia.[4] Pada pertengahan abad ke-19, Terorisme mulai banyak dilakukan di Eropa Barat, Rusia dan Amerika. Mereka percaya bahwa Terorisme adalah cara yang paling efektif untuk melakukan revolusi politik maupun sosial, dengan cara membunuh orang-orang yang berpengaruh.[5] Sejarah mencatat pada tahun 1890-an aksi terorisme Armenia melawan pemerintah Turki, yang berakhir dengan bencana pembunuhan masal terhadap warga Armenia pada Perang Dunia I. Pada dekade tersebut, aksi Terorisme diidentikkan sebagai bagian dari gerakan sayap kiri yang berbasiskan ideologi.[6]
Menurut kamus Oxford, terror memiliki arti: A person, situation or thing that makes you very afraid(seseorang, situasi, atau sesuatu yang membuatmu sangat takut); Violent action or the threat of violent action that is intended to cause fear, usually for political purposes (aksi kekerasan atau ancaman kekerasan yang dimaksudkan untuk menimbulkan ketakutan, biasanya untuk tujuan-tujuan politik). Sedang terrorism diartikan sebagai: the use of violent action in order to achieve political aims or to force a government to act (penggunaan aksi kekerasan untuk mencapai tujuan-tujuan politik atau untuk menekan pemerintah agar berbuat sesuatu).
Dari definisi di atas dapat disimpulkan tentang karakter teror atau terorisme, yaitu: Menggunakan cara kekerasan; menimbulkan rasa takut di hati sasaran terror; dan memiliki tujuan politik tertentu.
Kalau diteliti lebih dalam, akan ditemukan perbedaan-perbedaan significant antara JIHAD dengan TERORISME, antara lain:
+ JIHAD: Untuk menegakkan Kalimah Allah di muka bumi.
+ TERORISME: Mencoreng citra Islam di mata ummat manusia.
+ JIHAD: Dilakukan dengan alasan-alasan yang jelas. Misalnya, dalam rangka membela diri atau memperluas wilayah Islam.
+ TERORISME: Dilakukan dengan tanpa alasan yang jelas, selain penafsiran-penafsiran sepihak atas masalah-masalah politik tertentu.
+ JIHAD: Diikat oleh adab-adab yang ketat. Misalnya, jihad tidak mengarahkan sasaran ke kalangan sipil atau orang-orang lemah.
+ TERORISME: Tidak diikat oleh adab apapun, selain tujuan menghancurkan sasaran dengan cara apapun.
+ JIHAD: Diawali dengan kepastian suatu konflik antar negara. Konflik itu harus pasti dulu, baik melalui pengumuman perang, maupun melalui tindakan penyerangan yang dilakukan suatu negara agresor.
+ TERORISME: Tidak jelas kapan konflik itu resmi dimulai, dan kapan pula ia akan berakhir.
+ JIHAD: Rata-rata berhubungan dengan posisi suatu negara dalam kancah konflik politik dengan negara-negara lain.
+ TERORISME: Bisa dilakukan oleh siapapun, baik pribadi, kelompok, atau milisi-milisi tertentu.
Secara metode terorisme itu dilakukan dengan menciptakan rasa takut di hati masyarakat sipil yang tidak tahu apa-apa. Sementara JIHAD dilakukan di atas konflik yang sudah sama-sama dipahami dan tidak memiliki tujuan menciptakan rasa takut ke masyarakat sipil, namun mengalahkan musuh tertentu.

Terorisme tidak bisa dikategorikan sebagai Jihad; Jihad dalam bentuk perang harus jelas pihak-pihak mana saja yang terlibat dalam peperangan, seperti halnya perang yang dilakukan Nabi Muhammad yang mewakili Madinah melawan Makkah dan sekutu-sekutunya. Alasan perang tersebut terutama dipicu oleh kezaliman kaum Quraisy yang melanggar hak hidup kaum Muslimin yang berada di Makkah (termasuk perampasan harta kekayaan kaum Muslimin serta pengusiran).
Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa : “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau !”.(QS 4:75)
Perang yang mengatasnamakan penegakan Islam namun tidak mengikuti Sunnah Rasul tidak bisa disebut Jihad. Sunnah Rasul untuk penegakkan Islam bermula dari dakwah tanpa kekerasan, hijrah ke wilayah yang aman dan menerima dakwah Rasul, kemudian mengaktualisasikan suatu masyarakat Islami (Ummah) yang bertujuan menegakkan Kekuasaan Allah di muka bumi.
Jihad dalam bentuk perang dilaksanakan jika terjadi fitnah yang membahayakan eksistensi ummat (antara lain berupa serangan-serangan dari luar). Jihad tidak bisa dilaksanakan kepada orang-orang yang tunduk kepada aturan Allah atau mengadakan perjanjian damai maupun ketaatan.
Kesimpulannya, Terorisme bukanlah jihad. Terorisme hanyalah kegiatan sekelompok orang yang tidak memiliki tujuan yang jelas demi mashlahah islam. Islam tidak pernah mengajarkan umatnya memusuhi bangsa atau etnis, karena semuanya merupakan fitrah yang diciptakan oleh Allah (Q.s. al-Hujurat [49]: 13). Islam hanya memusuhi pandangan Kufur yang dipaksakan kepada umatnya, dan umat lain, sehingga menolak kebenaran ilahi (Islam). Maka, penolakan umat Islam pada ideologi setan dan nilai- nilai Barat adalah aspirasi intelektual dan politik yang sah dari setiap Muslim, karena bertentangan dengan identitas dan peradaban Islam. Sebagaimana mereka sendiri juga menolak penjajahan, globalisasi dan perang, karena bertentangan dengan nilai kemanusiaan.
Dalam berjihad, diharamkan membunuh anak- anak, wanita, orang tua, merusak bangunan, rumah ibadah, pohon, dll. Bandingkan dengan perbuatan sekelompok orang yang mengakibatkan kerusakan dan kematian akhir-akhir ini, apakah pantas disebut jihad??
Dan taukah antum/na  Ada Teroris teriak Teroris dalam dunia ini
Kterlibatan Amerika dan Israel adalah biang dari Dana yang ada>Penjelasanya cari sendiri.^___^
Notenya udah panjang pegel ni jari.
Sampai disini dulu ya "Al Haqquminallah wa khoto mini"Kebenaran itu selalu deh datang dari Allah dan kehilafan selalu datang dari yang bikin note ini
Maafkan ana jikalau hilaf.

Catatan ini diambil dari tugas Fiqh Fakultas Agama Islam (Rosi Fatmawati)
Referensi :

Muladi, Demokrasi, HAM dan Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta:The Habibie Center, 2002), hal. 168.
Makalah Masailul Fiqh Al Hadisa "Jihad dan Terorisme"hehe  hasil presentasi temen kemarin
http://justrangga.wordpress.com/2008/10/30/sebuah-renungan-terorisme-vs-jihad/
Muhammad Mustofa, Memahami Terorisme: Suatu Perspektif Kriminologi, Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, vol 2 no III (Desember 2002): 30.
http://abisyakir.wordpress.com/2009/07/23/jihad-dan-terorisme/


Meluruskan Fitnah Kubro Pernikahan Nabi dan Aisyah



SAATNYA MATERI BERBOBOT DI SAMPAIKAN UNTUK KEMASLAHATAN BERSAMA.
Sahabat saya bener bener menggebu gebu saat menulis ini! Saya rasa semua telinga dan hati kita merasa terbakar saat Rasulilah Solallohu alaihi wassalam dihina.. tapi rasa sakit itu bertambah ketika kita terpaksa harus terbungkam karena Ilmu kita Lemah..

Memang perdebatan bukan jalan terbaik untuk mematahkan semangat kristenisasi mereka, tapi, dengan memupuk jiwa kita dengan Ilmu, kita akan tangguh ketika suatu saat terpojokan dalam satu situasi yg memaksa kita bicara.

Saudara, Benarkah Aisyah Ra Berusia 7 tahun Ketika Menikah Dengan Rasulillah Saw?
Hadist Siapakah yg meriwayatkan itu? Silahkan baca 9 point dibawah ini yg akan membawa kita kepada pemahaman bahwa itu semua adalah MITOS dan fitnah Belaka!

Sebagaian besar riwayat yang menceritakan hal ini yang tercetak di hadits yang semuanya diriwayatkan hanya oleh Hisham ibn `Urwah, yang mencatat atas otoritas dari Bapaknya,Yang mana seharusnya minimal 2 atau 3 orang harus mencatat hadist serupa juga. Adalah aneh bahwa tak ada seorang pun yang di Madinah, di mana Hisham ibn `Urwah tinggal, sampai usia 71 tahun baru menceritakan hal ini, disamping kenyataan adanya banyak murid-murid di Madinah termasuk yang kesohor Malik ibn Anas, tidak menceritakan hal ini.

Asal dari riwayat ini adalah dari orang-orang Iraq, di mana Hisham tinggal disana dan pindah dari Madinah ke Iraq pada usia tua.

Tahzibu at-Tahzib, salah satu buku yang cukup terkenal yang berisi catatan para periwayat hadist, menurut Yaqub ibn Shaibah mencatat : ”Hisham sangat bisa dipercaya, riwayatnya dapat diterima, kecuali apa-apa yang dia ceritakan setelah pindah ke Iraq” (Tahzibu at-Tahzib, Ibn Hajar Al-`Asqala’ni, Dar Ihya al-turath al-Islami, 15th century. Vol 11, p.50).

Dalam pernyataan lebih lanjut bahwa Malik ibn Anas menolak riwayat Hisham yang dicatat dari orang-orang Iraq: ”Saya pernah diberitahu bahwa Malik menolak riwayat Hisham yang dicatat dari orang-orang Iraq” (Tahzibu at-Tahzib, IbnHajar Al- `Asqala’ni, Dar Ihya al-turath al-Islami, Vol.11, p. 50).
Mizanu al-I`tidal, buku lain yang berisi uraian riwayat hidup para periwayat hadist Nabi saw mencatat: ”Ketika masa tua, ingatan Hisham mengalami kemunduran yang mencolok” (Mizanu al-I`tidal, Al-Dzahabi, Al-Maktabatu’l-athriyyah, Sheikhupura, Pakistan, Vol. 4, p. 301).

KESIMPULAN:
berdasarkan referensi ini, Ingatan Hisham sangatlah jelek dan riwayatnya setelah pindah ke Iraq sangat tidak bisa dipercaya, sehingga riwayatnya mengenai umur pernikahan Aisyah adalah tidak kredibel.

KRONOLOGI:
Adalah vital untuk mencatat dan mengingat tanggal penting dalam sejarah Islam:
pra-610 M: Jahiliyah (pra-Islamic era) sebelum turun wahyu
610 M: turun wahyu pertama dan Abu Bakar menerima Islam
613 M: Nabi Muhammad saw mulai mengajar ke Masyarakat
615 M: Hijrah ke Abyssinia.
616 M: Umar bin al Khattab menerima Islam.
620 M: dikatakan Nabi meminang Aisyah
622 M: Hijrah ke Yathrib, kemudian dinamai Madinah al-Munawwarah
623/624 M: dikatakan Nabi saw berumah tangga dengan Aisyah


Menurut Thabari (juga menurut Hisham ibn `Urwah, Ibn Hunbal and Ibn Sad), Aisyah dipinang pada usia 7 tahun dan mulai berumah tangga pada usia 9 tahun. Tetapi, di bagian lain, At-Thabari mengatakan: ”Semua anak Abu Bakr (4 orang) dilahirkan pada masa jahiliyah dari 2 isterinya” (Tarikhu al-umam wa al-muluk, At-Thabari (died 922), Vol. 4,p. 50, Arabic, Dara’l-fikr, Beirut, 1979).

Jika Aisyah dipinang 620M (Aisyah umur 7 tahun) dan berumah tangga tahun 623/624 M (usia 9 tahun), ini mengindikasikan bahwa Aisyah dilahirkan pada 613 M. Sehingga berdasarkan tulisan At-Thabari, Aisyah seharusnya dilahirkan pada 613 M, Yaitu 3 tahun sesudah masa jahiliyah usai (610 M).
Thabari juga menyatakan bahwa Aisyah dilahirkan pada saat jahiliyah. Jika Aisyah dilahirkan pada era Jahiliyah, seharusnya minimal Aisyah berumur 14 tahun ketika dinikahi. Intinya: Thabari mengalami kontradiksi dalam periwayatannya.

KESIMPULAN:
Al-Thabari tak reliable mengenai umur Aisyah ketika menikah.


Menurut Ibn Hajar, ”Fatima dilahirkan ketika Ka`bah dibangun kembali, ketika Nabi saw berusia 35 tahun… Fatimah 5 tahun lebih tua dari Aisyah” (Al-isabah fi tamyizi ash-shahabah, Ibn Hajar al-Asqalani, Vol. 4, p. 377, Maktabatu’l-Riyadh al-haditha, al-Riyadh,1978).

Jika statement Ibn Hajar adalah faktual, berarti Aisyah dilahirkan ketika Nabi berusia 40 tahun. Jika Aisyah dinikahi Nabi pada saat usia Nabi 52 tahun, maka usia Aisyah ketika menikah adalah 12 tahun.

KESIMPULAN:
Ibn Hajar, Thabari, Ibn Hisham, dan Ibn Humbal kontradiksi satu sama lain. Tetapi tampak nyata bahwa riwayat Aisyah menikah usia 7 tahun adalah mitos tak berdasar.


Menurut Abdur Rahman ibn Abi Zannad: ”Asma lebih tua 10 tahun dibanding Aisyah” (Siyar Al-a’lam An-nubala’, Al-Dzahabi, Vol. 2, p. 289, Arabic, Mu’assasatu’l-risalah, Beirut, 1992).

Menurut Ibn Kathir: ”Asma lebih tua 10 tahun dari adiknya [Aisyah]” (Al-Bidayah wa an-nihayah, Ibn Kathir, Vol. 8, p. 371,Dar al-fikr al-`arabi, Al-jizah, 1933).

Menurut Ibn Kathir: ”Asma melihat pembunuhan anaknya pada tahun 73 H, dan 5 hari kemudian Asma meninggal. Menurut iwayat lainya, dia meninggal 10 atau 20 hari kemudian, atau bebrapa hari lebih dari 20 hari, atau 100 hari kemudian. Riwayat yang paling kuat adalah 100 hari kemudian. Pada waktu Asma Meninggal, dia berusia 100 tahun” (Al-Bidayah wa An-nihayah, Ibn Kathir, Vol. 8, p. 372, Dar al-fikr al-`arabi, Al- jizah, 1933)

Menurut Ibn Hajar Al-Asqalani: ”Asma hidup sampai 100 tahun dan meninggal pada 73 or 74 H.” (Taqribu At-tahdzib, Ibn Hajar Al-Asqalani,p. 654,Arabic, Bab fi’l-nisa’, al-harfu’l-alif, Lucknow).
Menurut sebagaian besar ahli sejarah, Asma, Saudara tertua dari Aisyah berselisih usia 10 tahun. Jika Asma wafat pada usia 100 tahun dia tahun 73 H, Asma seharusnya berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah (622M).

Jika Asma berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah (ketika Aisyah berumah tangga), Aisyah seharusnya berusia 17 atau 18 tahun. Jadi, Aisyah, berusia 17 atau 18 tahun ketika hijrah pada taun dimana Aisyah berumah tangga.

Berdasarkan Ibnu Hajar, Ibn Katir, dan Abdur Rahman ibn Abi Zannad, usia Aisyah ketika beliau berumah tangga dengan Rasulullah adalah 19 atau 20 tahun.

Dalam bukti # 3, Ibn Hajar memperkirakan usia Aisyah 12 tahun dan dalam bukti #4 Ibn Hajar mengkontradiksi dirinya sendiri dengan pernyataannya usia Aisyah 17 atau 18 tahun. Jadi mana usia yang benar ? 12 atau 18..?

kesimpulan: Ibn Hajar tidak valid dalam periwayatan usia Aisyah.

Sebuah riwayat mengenai partisipasi Aisyah dalam perang Badr dijabarkan dalam hadist Muslim (Kitabu al-jihad wa as-siyar, Bab Karahiyati al-Isti`anah fi al-Ghazwi bikafir). Aisyah, ketika menceritakan salah satu momen penting dalam perjalanan selama perang Badar, mengatakan: ”ketika kita mencapai Shajarah”. Dari pernyataan ini tampak jelas, Aisyah merupakan anggota perjalanan menuju Badar. Sebuah riwayat mengenai pastisipasi Aisyah dalam Uhud tercatat dalam Bukhari (Kitabu al-jihad wa as-siyar, Bab Ghazwi an-nisa’ wa qitalihinna ma`a ar-Rijal): ”Anas mencatat bahwa pada hari Uhud, Orang-orang tidak dapat berdiri dekat Rasulullah. [pada hari itu,] Saya melihat Aisyah dan Umm-i-Sulaim dari jauh, Mereka menyingsingkan sedikit pakaian-nya [untuk mencegah halangan gerak dalam perjalanan tsb].”

Lagi-lagi, hal ini menunjukkan bahwa Aisyah ikut berada dalam perang Uhud dan Badr.
Diriwayatkan oleh Bukhari (Kitabu al-Maghazi, Bab Ghazwati’l-khandaq wa hiya’l-ahza’b): ”Ibn `Umar menyatakan bahwa Rasulullah tidak mengijinkan dirinya berpastisispasi dalam Uhud, pada ketika itu, Ibnu Umar berusia 14 tahun. Tetapi ketika perang Khandaq, ketika berusia 15 tahun, Nabi mengijinkan Ibnu Umar ikut dalam perang tsb.”

Berdasarkan riwayat diatas, (a) anak-anak berusia dibawah 15 years akan dipulangkan dan tidak diperbolehkan ikut dalam perangm, dan (b) Aisyah ikut dalam perang badar dan Uhud

KESIMPULAN:
Aisyah ikut dalam perang Badar dan Uhud jelas mengindikasikan bahwa beliau tidak berusia 9 tahun ketika itu, tetapi minimal berusia 15 tahun. Disamping itu, wanita-wanita yang ikut menemani para pria dalam perang sudah seharusnya berfungsi untuk membantu, bukan untuk menambah beban bagi mereka. Ini merupakan bukti lain dari kontradiksi usia pernikahan Aisyah.

Menurut beberapa riwayat, Aisyah dilahirkan pada tahun ke delapan sebelum hijriyah. Tetapi menurut sumber lain dalam Bukhari, Aisyah tercatat mengatakan hal ini: ”Saya seorang gadis muda (jariyah dalam bahasa arab)” ketika Surah Al-Qamar diturunkan (Sahih Bukhari, kitabu at-tafsir, BabQaulihi Bal al-sa`atu Maw`iduhum wa’l-sa`atu adha’ wa amarr).

Surat 54 dari Quran diturunkan pada tahun ke delapan sebelum hijriyah (The Bounteous Koran, M.M. Khatib, 1985), menunjukkan bahwa surat tsb diturunkan pada tahun 614 M. Jika Aisyah memulai berumahtangga dengan Rasulullah pada usia 9 di tahun 623 M or 624 M, Aisyah masih bayi yang baru lahir (sibyah n Arabic) pada saat Surah Al-Qamar diturunkan. Menurut riwayat diatas, secara aktual tampak bahwa Aisyah adalah gadis muda, bukan bayi yang baru lahir ketika pewahyuan Al-Qamar. Jariyah berarti gadis muda yang masih suka bermain (Lane’s Arabic English Lexicon). Jadi, Aisyah, telah menjadi ariyah bukan sibyah (bayi), jadi telah berusia 6-13 tahun pada saat turunnya surah Al-Qamar, dan oleh karena itu sudah pasti berusia 14-21 tahun ketika dinikahi Nabi.

Kesimpulan: riwayat ini juga mengkontra riwayat pernikahan Aisyah yang berusia 9 tahun.


Menurut riwayat dari Ahmad ibn Hanbal, sesudah meninggalnya isteri pertama Rasulullah, Khadijah, Khaulah datang kepada Nabi dan menasehati Nabi untuk menikah lagi, Nabi bertanya kepadanya ttg pilihan yang ada di pikiran Khaulah. Khaulah berkata: ”Anda dapat menikahi seorang gadis (bikr) atau seorang wanita yang pernah menikah (thayyib)”. Ketika Nabi bertanya ttg identitas gadis tsb (bikr), Khaulah menyebutkan nama Aisyah.

Bagi orang yang paham bahasa Arab akan segera melihat bahwa kata bikr dalam bahasa Arab tidak digunakan untuk gadis belia berusia 9 tahun. Kata yang tepat untuk gadis belia yang masih suka bermain-main adalah, seperti dinyatakan dimuka, adalah jariyah. Bikr disisi lain, digunakan untuk seorang wanita yang belum menikah serta belum punya pertautan pengalaman dengan pernikahan, sebagaiaman kita pahami dalam bahasa Inggris “virgin“.

Oleh karena itu, tampak jelas bahwa gadis belia 9 tahun bukanlah “wanita” (bikr) (Musnad Ahmad ibn Hanbal, Vol. 6, p.210,Arabic, Dar Ihya al-turath al-`arabi, Beirut).

Kesimpulan:
Arti literal dari kata, bikr (gadis), dalam hadist diatas adalah ”wanita dewasa yang belum punya pengalaman sexual dalam pernikahan.” Oleh karena itu, Aisyah adalah seorang wanita dewasa pada waktu menikahnya.

Seluruh muslim setuju bahwa Quran adalah buku petunjuk. Jadi, kita perlu mencari petunjuk dari Qur’an untuk membersihkan kabut kebingungan yang diciptakan oleh para periwayat pada periode klasik Islam mengenai usia Aisyah dan pernikahannya. Apakah Quran mengijinkan atau melarang pernikahan dari gadis belia berusia 7 tahun?

Tak ada ayat yang secara eksplisit mengijinkan pernikahan seperti itu. Ada sebuah ayat, yang bagaimanapun, yang menuntun muslim dalam mendidik dan memperlakukan anak yatim. Petunjuk Qur’an mengenai perlakuan anak Yatim juga valid diaplikasikan ada anak kita sendiri sendiri. Ayat tsb mengatakan : ”Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (Qs. 4:5) Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. ?” (Qs. 4:6)

Dalam hal seorang anak yang ditinggal orang tuanya, Seorang muslim diperintahkan untuk (a) memberi makan mereka, (b) memberi pakaian, (c) mendidik mereka, dan (d) menguji mereka thd kedewasaan “sampai usia menikah” sebelum mempercayakan mereka dalam pengelolaan keuangan.
Disini, ayat Qur’an menyatakan ttg butuhnya bukti yang teliti terhadap tingkat kedewasaan intelektual dan fisik melalui hasil test yang objektif sebelum memasuki usia nikah dan untuk mempercayakan pengelolaan harta-harta kepada mereka.

Dalam ayat yang sangat jelas di atas, tidak ada seorangpun dari muslim yang bertanggungjawab akan melakukan pengalihan pengelolaan keuangan pada seorang gadis belia berusia 7 tahun. Jika kita tidak bisa mempercayai gadis belia berusia 7 tahun dalam pengelolaan keuangan, gadis tsb secara tidak memenuhi syarat secara intelektual maupun fisik untuk menikah. Ibn Hambal (Musnad Ahmad ibn Hambal, vol.6, p. 33 and 99) menyatakan bahwa Aisyah yang berusia 9 tahun lebih tertarik untuk bermain dengan mainannya daripada mengambi tugas sebagai isteri. Oleh karena itu sangatlah sulit untuk mempercayai, bahwa Abu Bakar,seorang tokoh muslim, akan menunangkan anaknya yang masih belia berusia 7 taun dengan Nabi yang berusia 50 tahun. Sama sulitnya untuk membayangkan bahwa Nabi menikahi seorang gadis belia berusia 7 tahun.

Sebuah tugas penting lain dalam menjaga anak adalah mendidiknya. Marilah kita memunculkan sebuah pertanyaan,”berapa banyak di antara kita yang percaya bahwa kita dapat mendidik anak kita dengan hasil memuaskan sebelum mereka mencapai usia 7 atau 9 tahun?” Jawabannya adalah Nol besar. Logika kita berkata, adalah tidak mungkin tugas mendidik anak kita dengan memuaskan sebelum mereka mencapai usia 7 tahun, lalu bagaimana mana mungkin kita percaya bahwa Aisyah telah dididik secara sempurna pada usia 7 tahun seperti diklaim sebagai usia pernikahannya?

Abu Bakr merupakan seorang yang jauh lebih bijaksana dari kita semua, Jadi dia akan merasa dalam hatinya bahwa Aisyah masih seorang anak-anak yang belum secara sempurna sebagaimana dinyatakan Qur’an. Abu Bakar tidak akan menikahkan Aisyah kepada seorangpun. Jika sebuah proposal pernikahan dari gadis belia dan belum terdidik secara memuaskan datang kepada Nabi, Beliau akan menolak dengan tegas karena itu menentang hukum-hukum Quran.

Kesimpulan: Pernikahan Aisyah pada usia 7 tahun akan menentang hokum kedewasaan yang dinyatakan Quran. Oleh karean itu, Cerita pernikahan Aisyah gadis belia berusia 7 tahun adalah mitos semata.


Seorang wanita harus ditanya dan diminta persetujuan agar pernikahan yang dia lakukan menjadi syah (Mishakat al Masabiah, translation by James Robson, Vol. I, p. 665). Secara Islami, persetujuan yang kredible dari seorang wanita merupakan syarat dasar bagi kesyahan sebuah pernikahan.
Dengan mengembangkan kondisi logis ini, persetujuan yang diberikan oleh gadis belum dewasa berusia 7 tahun tidak dapat diautorisasi sebagai validitas sebuah pernikahan.

Adalah tidak terbayangkan bahwa Abu Bakr, seorang laki-laki yang cerdas, akan berpikir dan menanggapi secara keras ttg persetujuan pernikahan gadis 7 tahun (anaknya sendiri) dengan seorang laki-laki berusia 50 tahun.

Serupa dengan ini, Nabi tidak mungkin menerima persetujuan dari seorang gadis yang menurut hadits dari Muslim, masih suka bermain-main dengan bonekanya ketika berumah tangga dengan Rasulullah.
Kesimpulan: Rasulullah tidak menikahi gadis berusia 7 tahun karena akan tidak memenuhi syarat dasar sebuah pernikahan islami ttg klausa persetujuan dari pihak isteri. Oleh karena itu, hanya ada satu kemungkinan Nabi menikahi Aisyah seorang wanita yang dewasa secara intelektual maupun fisik.


Tidak ada tradisi Arab untuk menikahkan anak perempuan atau laki-laki yang berusia 9 tahun, Demikian juga tidak ada pernikahan Rasulullah saw dan Aisyah ketika berusia 9 tahun. Orang-orang arab tidak pernha keberatan dengan pernikahan seperti ini, karean ini tak pernah terjadi sebagaimana isi beberapa riwayat.

Jelas nyata, riwayat pernikahan Aisyah pada usia 9 tahun oleh Hisham ibn `Urwah tidak bisa dianggap sebagai kebenaran, dan kontradisksi dengan riwayat-riwayat lain. Lebih jauh, tidak ada alasan yang nyata untuk menerima riwayat Hisham ibn `Urwah sebagai kebenaran ketika para pakar lain, termasuk Malik ibn Anas, melihat riwayat Hisham ibn `Urwah selama di Iraq adalah tidak reliable. Pernyataan dari Tabari, Bukhari dan Muslim menunjukkan mereka kontradiksi satu sama lain mengenai usia menikah bagi Aisyah. Lebih jauh, beberapa pakar periwayat mengalami internal kontradiksi dengan riwayat-riwayatnya sendiri. Jadi, riwayat usia Aisyah 9 tahun ketika menikah adalah tidak reliable karena adanya kontradiksi yang nyata pada catatan klasik dari pakar sejarah Islam.

Oleh karena itu, tidak ada alasan absolut untuk menerima dan mempercayai usia Aisyah 9 tahun ketika menikah sebagai sebuah kebenaran disebabkan cukup banyak latar belakang untuk menolak riwayat tsb dan lebih layak disebut sebagai mitos semata. Lebih jauh, Qur’an menolak pernikahan gadis dan lelaki yang belum dewasa sebagaimana tidak layak membebankan kepada mereka tanggung jawab-tanggung jawab.

Adapted from http://www.badilag.net/ with fully edditing design by Nuruddin Al-Indunisy
post share by akhwatul iman

kebenaran datangnya dari Allah dan kehilafan datangnya dari yang buat note
maafin ya.Tidak jadi ajang debat tapi bahan diskusi bersama
SEBARKAN......!!
BANTAH DENGAN ILMU SUPAYA MEREKA BUNGKAM DAN MENGHENTIKAN FITNAH KOSONG ITU.

ALLOHUAKBAR!

Surat Fatimah diPenjara Abu Gharaib


             بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Katakanlah (wahai Muhammad): (Tuhanku) ialah Allah Yang Maha Esa.; Allah Yang menjadi tumpuan sekalian makhluk untuk memohon sebarang hajat.; Dia tiada beranak dan Dia pula tidak diperanakkan; Dan tidak ada sesiapapun yang serupa denganNya.” [Qur’an, Surat 112 “al-Ikhlas”]

Aku memilih surat yang mulia ini dari kitab Allah, karena surat ini sangat berkesan pada diriku dan diri kalian. Dan surat ini menimbulkan kedamaian, khususnya bagi orang -orang yang beriman.

Saudara- saudaraku para mujahidin di jalan Allah,..Apa yang dapat aku katakan kepada kalian?? Haruskah Aku katakan kepada kalian bahwa Rahim-rahim kami telah dipenuhi janin-janin perzinaan dengan para keturunan kera dan babi yang telah memperkosa kami, dan aku katakan kepada kalian, mereka telah merusak tubuh kami, mereka meludahi muka kami dan merobek- robek lembaran- lembaran al-Quran yang ada dipelukan kami?

Allahu Akbar.!!! Allahu Akbar.!!!

Tidakkah kalian memahami keadaan kami?? ataukah kalian benar-benar tidak mengetahui keadaan kami?

Kami adalah saudari -saudari kalian. dan Allah pasti akan menghisab dan meminta pertanggung jawaban kalian pada hari esok (di padang mahsyar) tentang diri kami.

Demi Allah, tidak ada satu malam-pun yang kami lalui di penjara Abu Ghuraib, kecuali tentara keturunan kera dan babi itu pasti menyiksa dan memperkosa kami.

Takutlah kalian kepada Allah!! Bunuhlah dan hancurkanlah kami bersama mereka, dan janganlah kalian membiarkan kami menjadi permainan mereka.

Takutlah kalian kepada Allah atas apa yang menimpa kami. Tinggalkanlah tank- tank dan pesawat mereka yang ada di luar sana dan arahkanlah senjata kalian kepada kami di sini (Penjara Abu Ghraib)!! Agar kami bisa beristirahat.

Aku (Fatimah) adalah saudari perempuan kalian. Mereka memperlakukan kami sungguh sangat tidak manusiawi, tidak kurang dari 9 (sembilan ) kali mereka memperkosa kami dalam satu hari dengan bengisnya. Apakah kalian tidak berakal ?

Seandainya kejadian ini menimpa saudara perempuan kandung kalian, apa yang akan kalian lakukan?? Kenapa kalian tidak berfikir bahwa aku ini saudari kalian?? Kenapa kalian tidak menganggap aku sebagai saudari kalian??

Dan sekarang Aku bersamaku 13 ( tiga belas) orang yang semuanya masih gadis dan masih terjaga keperawanannya.

Mereka diperkosa dengan cara yang biadab didepan mata kami semua. Mereka melarang kami menegakkan sholat, mereka telanjangi kami dan mereka juga melarang kami memakai pakaian .

Ketika aku menulis surat ini kepada kalian, salah seorang saudari kalian bunuh diri, dengan cara membenturkan kepalanya ke dinding sampai mati. Hal itu terjadi, karena dia tidak kuat menanggung derita setelah di perkosa dan di pukul dibagian dada dan pahanya dengan cara yang amat keji dan tidak masuk akal serta diancam akan dibunuh oleh seorang tentara keturunan kera dan babi.

Meskipun Islam mengharamkan bunuh diri. Akan tetapi aku memakluminya dan aku memohon kepada Allah agar berkenan mengampuninya, karena Allah Maha Pengasih lagi Maha penyayang.

Saudara- saudaraku, Aku sampaikan kepada kalian sekali lagi. Takutlah kalian kepada Allah dan bunuhlah kami bersama mereka agar kami bisa beristirahat dari segala siksaan ini.


Fathimah
Jum’at 14 Desember 2004

Teks Asli:

Dec 21, 2004
By Khadija Abdul Qahaar, JUS And Muhammad Abu Nasr, Free Arab Voice

At approximately 12:25pm on Saturday, resistance fighters waged an unprecedented assault on the Abu Ghraib prison camp south of Baghdad. The assault was sparked by a letter from a female prisoner named Fatima that fueled some Muslim fighters into action.

Fatima’s letter, a hand written document, was recently smuggled out of Abu Ghraib. Fatima is the sister of one of the celebrated Resistance fighters in the area. US occupation forces raided his house some time back but failed to find him, so they took his sister prisoner in an attempt to force him to give himself up. JUS reported the incident at the time and it was said that this family is known for their piety and uprightness.

Here is Fatima’s letter as originally published in Arabic by Mafkarat al-Islam and translated to English by Muhammad Abu Nasr of Free Arab Voice.

Fatima’s Letter:

“In the name of God, the Merciful, the Mercy-giving. “Say He is God the One; God the Source [of everything]; Not has He fathered, nor has He been fathered; nor is anything comparable to Him.” [Qur'an, Surat 112 "al-Ikhlas"]

I chose this noble Surah from the Book of God because it has the greatest impact on me and on all of you and it strikes a particular kind of awe in the hearts of Believers.

My brother Mujahideen in the path of God! What can I say to you? I say to you: our wombs have been filled with the children of fornication by those sons of apes and pigs who raped us. Or I could tell you that they have defaced our bodies, spit in our faces, and tore up the little copies of the Qur’an that hung around our necks? God is greatest! Can you not comprehend our situation? Is it true that you do not know what is happening to us? We are your sisters. God will be calling you to account [about this] tomorrow.

By God, we have not passed one night since we have been in prison without one of the apes and pigs jumping down upon us to rip our bodies apart with his overweening lust. And we are the ones who had guarded our virginity out of fear of God. Fear God! Kill us along with them! Destroy us along with them! Don’t leave us here to let them get pleasure from raping us! It will be an act to ennoble the Throne of Almighty God. Fear God regarding us! Leave their tanks and
aircraft outside. Come at us here in the prison of Abu Ghurayb.

I am your sister in God (Fatimah). They raped me on one day more than nine times. Can you comprehend? Imagine one of your sisters being raped. Why can’t you all imagine it, as I am your sister. With me are 13 girls, all unmarried. All have been raped before the eyes and ears
of everyone.

They won’t let us pray. They took our clothes and won’t let us get dressed. As I write this letter one of the girls has committed suicide. She was savagely raped. A soldier hit her on her chest and thigh after raping her. He subjected her to unbelievable torture. She beat her head against the wall of the cell until she died, for she couldn’t take any more, even though suicide is forbidden in Islam. But I excuse that girl. I have hope that God will forgive her, because He is the Most Merciful of all.

Brothers, I tell you again, fear God! Kill us with them so that we might be at peace. Help! Help! Help! [Wa Mu'atasima!]” [END]

Subsequently, approximately 100 resistance fighters launched a fierce attack on the prison, forcing US troops to take cover inside their barracks within the compound. Fighters pounded the Americans with barrages of 82mm and 120mm mortar rounds. Large crowds of people gathered outside, fearful that the bombardment might harm the prisoners but they were assured by the fighters that they knew the layout of the prison camp very well.

Mafkarat al-Islam’s correspondent in Baghdad reported that the fighters succeeded in destroying part of the walls of the prison camp, blasting a hole four meters long in the inner and outer fences that encircled the camp.

The fate of Fatima and the other woman with her is unknown.

On a final note, an individual responded to Fatima’s letter yesterday on the Ansar site and wrote:

“Sorry, sister, we are not men. Only true men can answer your cry for help. Men are in a very short supply these days. Sorry again sister.”

It is comments like these that speak to the lack of honor and duty that characterizes many Muslims today. At JUS, we have insisted that rape has been going on since the occupiers landed their muddy boots in Iraq, which has for the most part, fallen on dead ears. We feel great frustration and failure over the receipt of Fatima’s letter because we know there are many more Fatimas being raped in prisons in Iraq and Afghanistan and many other sisters who are being violated who are not in captivity. What must we do to make these voices heard and where are the Muslim men to defend their honor?

In previous times, glory and honor were integrated into the lives of Muslims as part of the complete system of Islam. For instance, a man tied the end of that woman’s dress to a chair while she was shopping and when she got up, a portion of her private parts became visible. She screamed “Wa Mu’atasima”, calling for the Khalif himself. The Khalif wrote this letter to the head of the cross worshipper’s state:

“To the dog of Rome, I am coming to you with an army whose front is at your door and whose rear is right here”

This is honor and glory in action for something much less than rape. This is an army instead of 100 fighters. Those were the days when Muslim men could be found.


--------------------------------------------------------------

Asalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Saudariku fatimah yang di kuatkan Allah sebagai prajurit Allah yang senantiasa berusaha bertahan di tengah nyawapun hampir sampai di tenggorokan untuk membela Agama Allah karena ”inna din indallahil islam”rahmatan lillalamin
Wahai fatimah di tengah penderitaanmu
Maafkan kami sebagai saudarimu,harus berapa banyak surat dari saudari-saudari sepertimu yang masuk dan kami baca agar bisa menyadarkan kami muslimah di indonesia maupun dunia
Maafkan kami wahai saudariku atas kelalaian kami tidak memperhatikan hakmu sebagai saudari kami yang kami perjuangkan mertabatmu bahkan sebagai manusia berhak untuk merdeka
Wahai saudariku bersabarlah..ku mohon kau jangan putus Asa,jangan kau biarkan para generasi hewani itu  dengan bangga tertawa melihat kau mati dengan sia-sia atas keputus asaanmu..
Bukan ku sarankan kau menyerah.. tidak,ingatkah kau bahwa Allah bersama kita..Allah mengujimu..Allah menyayangimu
Allah akan melaknat merka yang telah mendzolimi kalian dan memuliakanmu kalau kau masih berpegang teguh kepada kitab Allah,merka bisa merobek,membakar tapi hakikat Alquran bukan terletak pada mushaf tapi dasar perbuatan serta hati yang meyakini Allah sesuai  yang di ajarkan oleh Rasulullah kita tercinta..
Wahai saudariku fatimah tungggulah akan datang kami membantumu,para mujahidin yang akan datang membawa kemenangan islam yang menentramkan jiwamu..
Namun Jika Allah lebih menyayangimu sebelum bertemu dengan kami.jangan bersedih percayalah Cinta sang Maha cinta lebih kekal adanya..semoga engkau disambut keberkahan Alam semesta

(Kak Rose)


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...