Pemilu lewat internet mulai sering kita dengar. telset merangkum  ujicoba e-voting di sejumlah negara dari berbagai sumber. Banyak  kritikan, tapi menjanjikan. 
Pemilu 2004 tinggal hitungan hari. Banyak media sudah menyediakan  halaman, rubrik atau jam tayang khusus membahasnya. Partai-partai  politik pun mulai rajin unjuk diri. Perlukah majalah ini menulis seputar  pelaksanaan pemilu? Perlu! Karena Anda pasti membutuhkan informasi lain  soal hajatan besar yang hanya berlangsung lima tahun sekali itu. 
Sejumlah negara sudah mulai memperkenalkan pemilu dengan memanfaatkan  kemajuan teknologi komunikasi dan informasi. Di Benua Biru, Komisi Eropa  aktif mengembangkan sistem teknologinya sejak beberapa tahun lalu.  Pihak swasta, seperti Nokia dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat  digandeng. 
Program yang dinamai Information Society Technologies 1999, itu  targetnya menciptakan sistem elektronik untuk pemilu yang aman. Pemilih  bisa menyalurkan suaranya memakai ponsel, PDA, komputer dan perangkat  lain yang bisa dipakai untuk mengakses internet. Mempermudah pemilih,  hasil lebih akurat, tak ada lagi kerusakan kertas suara dan mempercepat  penghitungan suara. Bagaimana hasil ujicoba itu? 
Kista, Stockholm, Swedia  
Proyek ujicoba ini dilakukan awal 2003 lalu. Warga kota Kista ternyata  menyambut antusias proyek Komisi Eropa ini. Selama tiga hari  pelaksanaaan 226 orang ikut berpatisipasi. Cukup repot juga panitia.  Soalnya banyak juga orang berusia di atas 55 tahun ikut mencoba. Seperti  halnya di Indonesia, kaum manula itu tak terbiasa mengakses internet.  Jadi, panitia musti membimbingnya satu-persatu. 
Pemilu ujicoba itu dipusatkan di dekat perpustakaan umum di pusat kota.  Panitia menyediakan tiga kios (semacam bilik suara), sebagai tempat  pemilih ‘mencoblos' partai atau calon wakilnya di parlemen. Di dalam  kios itu tak ada ‘paku' dan busa untuk landasan mencoblos. Melainkan  komputer dan ponsel Nokia, Communicator 9210 untuk akses internet. 
Sebenarnya pemilih pun bisa melakukannya dari tempat tinggal  masing-masing. Namun dari ratusan peserta itu hanya satu yang  mempraktekkannya. Mayoritas datang ke tempat ujicoba sambil mengumpulkan  informasi. Ternyata banyak juga warganegara Swedia yang gatek.  Bayangkan, ‘benda' yang namanya mouse saja belum tahu fungsinya. Bahkan  tak sedikit yang belum pernah meyentuh komputer. Wajar bila akhirnya  memakan waktu untuk ‘memencet' pilihannya. Seorang pemilih rata-rata  membutuhkan waktu lima belas menit di dalam kios. 
Saat mendaftar pemilih juga concern soal keamanan ‘suara'nya. Panitia  memberikan surat dalam amplop tertutup berisi kode pin, seperti saat  kita menerima kartu ATM. Syaratnya pemilih harus menunjukkan  identitasnya seperti KTP, SIM, atau paspor. Setelah ‘mencoblos', kertas  berisi kode pin itu harus dikembalikan pada panitia. Ini untuk mencegah  terjadinya pemakaian kode rahasia itu lebih dari sekali. 
Ujicoba itu dilaporkan berjalan dengan sukses. Secara teknologi,  terutama jaringan internet pun tak ada kendala berarti. Sebab dilakukan  di pusat kota dengan infrastruktur yang sudah baik. Yang jadi evaluasi  panitia adalah soal lamanya waktu pemilih berada di dalam bilik suara.  Masih lebih lama daripada cara manual. 
Issy les Moulineaux, Perancis 
860 sukarelawan dilibatkan dalam ujicoba pemilu dengan sistem cybervote,  Desember lalu. Peserta sebagian hadir di kios pemilihan. Yang lain  melakukannya dengan PC di rumah atau kantornya masing-masing. Ujicoba  itu diselenggarakan oleh CNIL (Kantor Perlindungan Data Perancis) dan  dihadiri pejabat terkait dari CNIL, Kementerian Interior, dan  Kementerian Industri dan CNRS. 
Laporan hasil ujicoba itu juga menyatakan sukses. Penghitungan suara  akhir memakan waktu kurang dari sepuluh menit. Saat proses pemilihan,  pemilih yang hadir di kios umumnya tak menemui hambatan berarti.  Sedangkan yang lewat rumah banyak yang mengalami keterlambatan proses  mengakses. Itu terjadi pada para pelanggan internet lewat modem.  Dibutuhkan waktu download hingga empat puluh lima menit untuk menunggu.  Sementara yang berlangganan via ADSL dan kabel lancar-lancar saja. 
Khusus pemilih yang memakai komputer kantor dengan jaringan broadband,  sama dengan datang ke kios. Tak ada istilah ‘internet lelet'. Untuk  keamanan suara, cybervote menyediakan port khusus. Jadinya, tanpa izin  khusus semua perusahaan tak bisa terhubung dengan sistem itu. 
Bremen, Jerman 
Rada berbeda dengan di Perancis dan Swedia. Peserta di Bremen  dibekali dengan kartu pintar (digital signature card) untuk menyalurkan  suaranya. Ujicoba itu dilakukan oleh Universitas Bremen untuk memilih  ‘pejabat' rektorat, dekanat, dan senat mahasiswa pada Januari 2003  selama dua hari. 
Untuk menyalurkan aspirasinya, mahasiswa musti datang ke gedung  Perpustakaan Fakultas Administrasi Universitas Bremen. Di sana  disediakan PC dengan smart card reader. Untuk menjaga kerahasiaan dan  keamanan saat memilih perpustakaan itu hanya dibuka pada jam-jam  tertentu saja. 
Untuk keamanan suara, smart card sudah dilengkapi teknologi asymmetric  encryption. Server pun sudah terhubung dengan secure client server  sampai jaringan intranet balai kota Bremen. Mungkin lantaran terbatasnya  PC dengan smart card reader plus terbatasnya jam buka perpustakaan  menjadikan sedikit peserta. Hanya 47 mahasiswa yang memilih, atau  seperlima dari jumlah seluruh pemegang smart card. 
Proses ‘pencoblosan' hanya memakan waktu 60-90 detik. Itu sudah termasuk  otentifikasi dengan memasukkan PIN kartu pintar pada card reader,  memilih tiga kandidat, dan mengeluarkan kartu itu. Sedangkan masa  penghitungan suara kurang dari sepuluh menit. Tak ada kesulitan yang  dialami peserta. Soalnya mirip dengan cara memakai kartu debit di mesin  ATM. 
--------------
sumber : Telset Magazine 
 

Tidak ada komentar:
Posting Komentar